Tentang Kami
Ide Pendirian Perguruan Tinggi di lingkungan Yayasan Al-Mardliyyah mucul pada kisaran tahun 2011, yang diprakarsai oleh putra kedua Ketua Yayasan Al-Mardliyyah, yaitu Gus Sihabuddin, MH., yang baru menyelesaikan pendidikan Magisternya dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada tanggal 17 April 2013 ide tersebut diterjemahkan dengan membentuk “tim-kecil” untuk bersliaturrahim kepada seorang akademisi (konsultan akademik) Lulusan S3 UIN Sunan Ampel Surabaya (yang tidak bereknan disinggung namanya dalam sejarah). Dari pertemuan tersebut menemukan titik terang sebagai langkah awal dan utama dalam mendirikan sebuah perguran tinggi, yaitu Kopertais Wilayah IV Surabaya.
Pada tanggal 29 April 2013 “tim-kecil” bersama konsultan menghadap ke Kopertais untuk sharing lebih detail tentang pendirian perguruan tinggi, sehingga akhirnya Kopertais Wilayah IV Surabaya memberikan Buku Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi Islam untuk dipelajari. Dengan modal Buku Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, “tim-kecil” memulai penyusunan Proposal Pendirian Perguruan Tinggi. Pada tanggal 01 Juli 2013 “tim-kecil” mengajukan hasil revisi Proposal, dan Alhamdulillah Proposal mendapatkan persetujuan dari Kopertais IV yang dibuktikan dengan Surat Rekomendasi Kopertais yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Diktis) di Jakarta.
Setelah pengajuan tahun 2013 sempat terhenti sampai awal 2015 karena tidak mempunyai “speed acces” ke Diktis, akhirnya pada bulan Juli 2015 (lupa tanggalnya) menemukan akses untuk memfollow up, sehingga dari pertemuan tersebut, disusunlah proposal baru dengan program studi yang baru, yaitu Bimbingan dan Konseling Islam (BKI). Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 2016 divisitasi oleh 3 orang asesor dari diktis dan BAN-PT, yaitu: Prof. Dr. Aziz Fahrurrazi, M.A., Abdullah Sarsam, dan Suradi, S.Pd.
Jumlah Dosen Aktif
Jumlah Mahasiswa Aktif
Jumlah Matakuliah
Opini Kampus
Kata “perjuangan” dan “pengabdian” selalu bersanding tidak bisa dipisahkan bak dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Seakan tidak sempurna bila hanya menyebut salah satunya. Keduanya kerap kali bergema di ruang-ruang publik, dari pidato di forum nasional, rekernas, sambutan-sambutan pimpinan organisasi, hingga seminar keumatan. Narasinya begitu indah, menggelegar terdengar mulia, membakar semangat dan menggelitik rasa kagum. Namun di balik gegap gempita itu muncul tanda tanya yang tidak bisa ditepis: Perjuangan untuk siapa? pengabdian kepada siapa?. Di era ketika segala hal mudah dikemas dalam narasi visual, ketika kamera dan sorot lampu menjadi saksi utama, perjuangan kadang hanya jadi fragmen pertunjukan. Bukan untuk umat tapi untuk panggung, bukan demi maslahat, tapi demi citra dan segelintir kelompok.
Di era digital ini, platform media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan X (dulu Twitter) sering kali menjadi bagian penting dalam menyebarluaskan narasi perjuagan dan pengabdian, dalam bentuk poster atau potongan video pendek yang sudah dikemas sedemikian rupa. Hanya dengan satu unggahan foto kegiatan sosial, satu video singkat berbumbu musik heroik, atau sepenggal kutipan ayat-hadits atau quote’s yang menggugah, seseorang dapat tampil sebagai figur yang tampak mengabdi dan berjuang untuk kepentingan umat. Sungguh ini sebuah fenomena sosial yang nyata dan dianggap biasa. Tidak jarang, perjuangan menjadi semacam komoditas visual yang harus tampil menjual agar mendapat simpati dan pengakuan. Likes, comment, and share menjadi ukuran keberhasilan “perjuangan” menggantikan nilai sejati yang kadang tidak terlalu ditampakkan di lapangan.
Terlepas dari semua itu, tentu kita tidak menafikan bahwa media sosial juga membawa manfaat besar, memperluas jangkauan inspirasi, menyebarkan semangat kepedulian, hingga menggalang partisipasi publik. Namun disaat yang sama kita juga tidak boleh menutup mata bahwa media sosial memberi ruang pada kepalsuan yang rapi, pengabdian yang lebih tampak sebagai strategi personal branding, bukan murni panggilan nurani untuk umat. Disinilah pentingnya menimbang ulang, apakah yang kita lakukan benar-benar untuk kemaslahatan bersama, atau sekadar mengejar sorotan semu? Apakah narasi perjuangan itu sungguh menggerakkan perubahan, atau hanya menghasilkan impresi?.
Meneguhkan Kembali Arah Niat
Sebagai seorang santri tentu sudah faham betul tentang urgensi, substansi, dan kedudukan niat dalam setiap perbuatan yang kita lakukan, bukan hanya soal konteks fiqih ibadah tetapi mencakup semua aspek pengabdian dan perjuangan yang kita lakukan dalam ranah sosial keummatan. Niat merupakan fondasi dari setiap langkah yang kita lakukan. Meski tidak terlihat, tapi sangat menentukan nilai. Sebuah aksi kecil dengan niat yang tulus dan lurus bisa lebih bernilai daripada proyek besar yang dibungkus kepentingan. Namun dalam dunia yang semakin berorientasi pada pencitraan dan pengakuan, niat sering tergeser oleh ambisi tersembunyi berupa keinginan untuk dipuji, difavoritkan, atau bahkan dijadikan simbol perjuangan. Sehingga tidak menutup kemungkinan, tekad mengembalikan niat kepada poros yang benar di era sekarang dianggap sebagai bentuk keberanian spiritual yang mungkin dianggap aneh karena seakan tergelincir dari kebiasaan buruk yang sering dilakukan. Kita mungkin tidak akan viral, tidak akan mendapat panggung, tapi kita menjaga kemurnian amal. Dan barangkali, dari keikhlasan yang tidak terlihat itulah, perubahan yang sesungguhnya bisa tumbuh pelan-pelan tapi nyata.
Satu hal yang harus kita pahami, bahwa menemukan kembali substansi niat bukan berarti memusuhi sorotan kamera atau menolak dokumentasi. Tapi ini adalah soal kejujuran batin, apakah kita tetap akan melakukannya jika tidak ada satu kamera pun yang merekam? Apakah kita masih bersedia hadir dan membantu, meski tidak ada satu pun orang yang tahu? Apakah kita masih siap berjuang meski tidak seorang pun yang siap memuji sebuah karya perjuangan?. Dalam istilah nasehat seorang guru “tako’ rajá’án céntonga, kodu ngastété”.
Perjuangan kemerdekaan republik ini yang penuh dengan pertumpahan darah, gugurnya para pahlawan, dan penindasan secara terang-terangan terhadap rakyat kecil menjadi salah satu bukti konkret bahwa urgensi dan substansi ketulusan dan kelurusan niat dalam perjuangan dan pengabdian telah ditunjukkan oleh para founding fathers negeri ini. Tidak banyak suara dan sosok mereka yang disorot kamera sejarah kemerdekaan, terutama perjuangan santri dan kiyai yang terlahir dengan Fatwa Reosilusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diserukan kyai Hasyim Asya’ari. Mereka tidak menghiraukan apakah jerih juangnya akan dianggap sebagai bentuk kepahlawanan kemerdekaan yang akan dibukukan dan disuarakan ke seluruh pelosok tanah air bumi pertiwi. Mereka hanya meyakini bahwa memperjuangkan kemerdekaan adalah kewajiban individual (fardhu 'ain) bagi seluruh rakyat di republik ini, karena mencintai tanah air bagian dari iman (hubbul wathan min al-iman).
Narasi Perlu Realisasi
Perjuangan dan pengabdian tidak cukup diwakili oleh pidato atau unggahan semata, ia harus turun menjejak tanah dan menyelami akar. Perjuangan dan pengabdian yang membumi bukanlah perjuangan yang riuh di media, tetapi yang terasa nyata di kehidupan masyarakat. Ia tidak bergantung pada panggung, seremonial, atau citra digital. Perjuangan dan pengabdian yang membumi hadir secara sederhana, namun berakar kuat di tengah umat, mendengar suara-suara kecil yang sering diabaikan, menjawab kebutuhan riil, dan hadir dalam bentuk tindakan, bukan hanya ucapan. Banyak narasi besar menjadi stagnan karena berhenti di dokumen dan panggung. Ruh gagasan-gagasan hebat kadang tidak berhasil menemukan tubuhnya di lapangan. Di sinilah tantangan kita hari ini, bagaimana menjembatani idealisme dengan aksi, bagaimana mengubah wacana menjadi aksi nyata.
Harapan ke depan, semoga narasi perjuangan tidak lagi berhenti pada kata-kata besar dan panggung besar, tetapi hadir di gang-gang kecil, di ruang-ruang pendidikan, di ladang-ladang sunyi, dan dalam kesabaran mereka yang bekerja tanpa suara. Kita perlu lebih banyak figur yang tidak hanya memposisikan diri sebagai pemimpin umat, tapi benar-benar menjadi pelayan umat dengan hati yang tunduk dan tangan yang terulur. Perjuangan yang membumi mungkin tidak akan viral. Tapi justru dari ketidakterlihatannya itu, ia menyuburkan akar perubahan yang tahan lama. Karena umat tidak membutuhkan simbol-simbol kosong, melainkan kehadiran nyata yang menjawab keresahan mereka sehari-hari. Selamat Merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke-80: Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju.
Oleh: Yanto Suhaini*
Post By Admin : 2025-08-17 21:24:28
Berita Kampus
Post By Admin : 2025-08-24 10:09:57
Post By Admin : 2025-07-20 10:23:25
Post By Admin : 2025-07-14 22:25:07
Post By Admin : 2025-06-29 11:22:03
Post By Admin : 2025-06-25 21:23:24
Post By Admin : 2025-01-20 09:41:56
Post By Admin : 2025-01-20 09:21:29
Post By Admin : 2025-01-20 09:17:47
Post By Admin : 2024-12-08 10:44:49
Post By Admin : 2024-09-04 18:25:22
Post By Admin : 2024-05-23 09:32:09
Post By Admin : 2023-02-13 06:42:15
Post By Admin : 2022-12-31 21:41:29
Post By Admin : 2022-12-07 11:00:14
Post By Admin : 2022-01-01 06:14:20
Post By Admin : 2021-11-01 10:52:02
Post By Admin : 2020-03-17 03:27:00
Post By Admin : 2020-03-17 03:26:08
Post By Admin : 2020-03-17 03:20:49
Post By Admin : 2020-03-17 03:19:55
Post By Admin : 2020-03-17 02:46:31
Pengumuman Kampus
Data Dosen
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Dsn. Cekonce, Ds. Sana Tengah, Kec. Pasean, Kab. Pamekasan
Jl. Kramat II, RT. 002, RW. 004, Kel. Karangdalem, Kec. Sampang, Kab. Sampang
Tamberu Alet, Batu Bintang, Batumarmar, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Dsn. Mandala, Bujur Tengah, Batumarmar, Pamekasan
Tagangser Laok, Waru, Pamekasan
Dsn. Sumber Pocok, Soddara, Pasongsongan, Sumenep
Oro Barat, Tlontoraja, Pasean, Pamekasan
Dempo Timur, Pasean, Pamekasan
Dsn. Lembanah, Waru Timur, Waru, Pamekasan
Dsn. Ja'ah 2, Karang Penang Oloh, Karang Penang, Sampang
Waru, Waru, Pamekasan
Dsn. Lanpelan, Sana Laok, Waru, Pamekasan
Dsn. Mondin, Galis Dajah, Konang, Bangkalan
Dsn. Sumber Sirih, Ds. Tagangser Laok, Kec. Waru, Kab. Pamekasan
Kowel, Kowel, Pamekasan
Ponjanan Timur, Dusun Bates Barat. Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan
Galeri Foto